Ternyata Membully Itu Nggak Enak






    Pembullyan masih menjadi kasus yang cukup serius sampai sekarang. Tapi sebenernya, apa sih penyebab adanya pembullyan ini? Menurut pengalaman yang pernah saya dapatkan dari teman, kasus ini ditimbulkan dari pelaku yang memiliki kepuasan tersendiri saat membully atau bisa juga karena pelaku pernah merasakan hal yang sama, bullying itu sendiri. Maka dia ingin melampiaskan emosinya kepada orang lain.


    Nah, membahas tentang bullying, saya jadi ingin sedikit bercerita tentang pengalaman teman saya yang pernah menjabat sebagai pelaku bullying, tapi ini taraf bullying yang masih sekadar olok-olokan anak SD, yaa. Meskipun begitu, saya bisa menyimpulkan, jadi pembully itu nggak enak blas. 

    Kelihatannya memang yang menderita itu korban. Kenyataannya, si pembully juga merasakan penderitaan, beberapa mungkin merasa menderita melebihi penderitaan korban. Berikut beberapa akibatnya menjadi pembully di masa yang akan datang menurut kacamata saya.


Di Mata Orang Terlihat Sangat Kejam, Tapi Aslinya Lemah

    Percaya nggak percaya, pembully itu ditakuti orang-orang disekitarnya. Bersyukrnya, teman saya waktu itu masih di tingkat pembully noob yang hanya sekadar suka mengolok-olok teman, tidak sampai berkata kasar atau berbuat kekerasan. Tapi, jangan anggap remeh juga, mengolok-olok teman itu juga perbuatan yang tidak terpuji. 

    Nah, kalau untuk pembully yang sudah pro sekali, wah ngueri. Sering lihat, kan di sinetron atau film-film, biasanya pembully itu satu geng. Nongkrong di suatu tempat yang biasa menjadi markas untuk menodong teman-temannya. Kalau mau lewat tempat itu, harus bayar atau harus berbuat sesuatu yang memalukan dulu, baru setelah itu boleh lewat. Kalau nggak mau, ya harus ambil resiko. Selepas lewat situ, badan jadi ungu-ungu.

    Tapi, dilihat dari beberapa sisi, pembully itu sebenarnya lemah. Satu contoh, dari sisi kekuatan, mereka lemah. Coba saja perhatikan, pembully itu seringnya berkelompok. Si kapten hanya menjadi tim suruh-suruh, anak buahnya yang disuruh turun tangan. Jarang kan, ada pembully itu individu. Yang individu justru si korban itu. Itu baru salah satu bukti kalau pembully itu aslinya lemah. Hanya menakutkan dari tampilan visual, aslinya ya mental tempe.


Dimarahi Guru

    Kalau ini saya pernah melihat kejadiannya secara langsung. Jadi, waktu itu saya masih SD kelas 6. Ada satu teman saya yang selalu dibully, entah alasan apa yang membuat dia sering sekali dibully, saya lupa. Tapi, setiap ada kejadian buruk yang menimpanya, dia pasti akan dibully. 

    Nah, waktu itu ada satu kejadian yang sangat saya ingat saat sedang berada di dalam kelas. Ada kotoran burung yang menempel di kepalanya. Beruntungnya, SD kami adalah SD yang mewajibkan siswi-siswinya memakai jilbab. Jadi, kotorannya tidak langsung mengenai rambut.

    Dari kejadian itu, tiga murid yang memang sudah bakatnya membully, spontan mengejek teman saya itu. Lima menit setelahnya, teman saya yang menjadi korban itu turun ke lantai bawah dan menuju ke kamar mandi. Saya pikir sih dia mau membersihkan kotoran itu. Tapi, setelah 30 menit, saya merasa ada hal yang sedikit mengganjal. Kenapa kok anak ini nggak balik-balik. Akhirnya saya mengajak satu teman lain untuk nyamperin dia ke kamar mandi. 

    Ternyata benar, dia sesenggukan di dalam kamar mandi, entah sudah sejak berama lama. Karena memang saya tidak ikut-ikutan dalam kasus itu, saya berani melaporkan hal tersebut kepada wali kelas kami.

    Tiga teman saya tadi langsung dipanggil ke ruang kepala sekolah dan dinasihati. Bersyukurnya saya waktu itu tidak menjadi bagian dari kubu pembully. Huft.


Dibalas dengan Kesuksesan

Ini hal yang menurut saya akan membuat pelaku bullying menyesal. Teman-teman yang pernah dibully, rata-rata menjadi sukses sekarang ini. Salah satu contohnya, teman saya yang dibully karena kotoran burung tadi. Dulunya dia anak yang menurut saya lumayan pintar lah. Nah, sekarang dia kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri favorit. Sedangkan si pembully, sekarang dia kuliah di perguruan tinggi swasta. Intinya, si korban itu lebih sukses di bidang pendidikan daripada mereka yang pernah membully.

    Bukan bermaksud menganggap swasta itu lebih buruk. Swasta lebih keren kok menurut saya, fasilitasnya memadai, beda dengan perguruan tinggi negeri. Tapi, kenapa saya jadikan perbandingan. Karena menurut saya, mau masuk perguruan tinggi swasta itu perjuangannya nggak sesusah masuk negeri. Kalau mau masuk PTN, prosedur awalnya saja sudah ribet, belum lagi masih ada ujian masuk PTN-nya. Kalau swasta, asal ada uang kemauan mudah saja untuk diterima. Jadi, menurut kacamata saya, korban bullying tadi lebih sukses dibandingkan pembully pada proses perjuangannya.

    Ada lagi, teman saya yang sering menjadi bahan body shaming karena sikap dan wajahnya yang nggak enak dilihat. Ini terjadi saat SMA. Kaum adam di kelas biasanya akan membully ketika namanya dipanggil saat presensi. Dengan alasan yang sama, saya juga nggak tau atas dasar apa. Hanya perkara nama dipanggil, seisi kelas tertawa semua. Aneh menurut saya, tapi anehnya lagi, saya juga ikut tertawa. Haha.

    Terus suksesnya dimana? Kalau yang ini bukan perkara kuliah lagi. Tapi, ini perkara laku nggak laku. Belum lama ini, ternyata dia sudah dipinang seorang laki-laki. Wah, betapa irinya teman-teman sekelas saya. Mereka belum laku, tapi orang yang mereka bully malah sudah laku duluan. Haduh!


    Intinya, dua teman saya yang menjadi korban bullying ini membalas mereka yang pernah membully dengan kesuksesan. Menurut saya, pembalasan seperti ini lebih mengena di hati pelaku daripada pembalasan fisik. Jadi, saran saya, kalau kamu masih menjadi seorang pembully, berhenti dari sekarang. Karena menderitanya nggak bisa dirasakan sekarang. Menderitanya besok, ngga tau kapan, tapi pasti ada masanya. Bahkan lebih menderita dari pada orang yang kamu bully.
#janganseriusamat

2 Comments

  1. Bullying sering terjadi di sekolah dan kampus yaa kak.
    Ntahlah, senior senior sering sekali dan merasa senang ketika melakukan itu kepada juniornya. Tapi kenapa para junior tidak mau melawan hal hal bodoh seperti itu yaaa? apa terlanjur takut yaa kali

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa jadi kak. Saya pun waktu menjadi maba sangat menjaga attitude dengan kating supaya tidak dicap jelek. Tapi kembali ke masing-masing pribadi.

      Hapus

Salam,
All You Can Read