Cerpen: Pelajaran Pertama



Perempuan berjilbab hitam itu mengatur kami kesana kemari. Entah bagaimana bentuk barisan yang sesungguhnya, kami hanya bisa mengetahui setelah hasilnya sudah dicetak. Kami rasa, taat dengan perintah perempuan itu akan mempercepat selesainya momen pengabadian ini.

Tak lama setelah itu, komandan memanggil tiga wanita berpakaian sama yang salah satunya adalah aku. Kemana lagi kalau bukan ke markas kecil berukuran 3 x 3 meter. Kami tahu, setelah ini pasti akan ada tugas yang harus segera dilaksanakan. Mungkin harus diselesaikan besok pagi atau bahkan malam ini. Oleh karenanya, panggilan komandan tidak boleh diabaikan meskipun sebenarnya urusan kami juga belum selesai. 

Kalaupun urusan kami memang tidak bisa ditinggalkan, satu atau dua dari kami harus tetap bergegas ke markas. Kami tidak diperbolehkan datang ke markas dengan tangan kosong. Persenjataan harus sudah lengkap, benda putih berbentuk segi empat ditemani satu buah benda yang berisi tinta. Senjata ini akan membantu kami supaya tidak lupa dengan tugas-tugas yang harus segera dikerjakan.

Entah mengapa setiap mendapat panggilan dari komandan, beban kami seolah-olah menjadi semakin berat. Padahal kami sudah mulai hafal dengan pola tugas yang akan diberikan. Mungkin membuat data, memberi pengumuman, atau memberi arahan kepada 400 an lebih manusia yang tinggal bersama kami.  Dan benar, ternyata memberi pengumuman adalah tugas kami selanjutnya, setelah tugas memberi arahan dalam pengabadian momen selesai.

Ngomong-ngomong soal bertambahnya beban ketika ada panggilan komandan, sebenarnya itu terjadi karena beberapa alasan. Salah satunya adalah karena raut wajah komandan. Di hadapan kami dan juga 400 manusia yang tinggal bersama kami, rasa-rasanya komandan hanya memiliki dua mimik saja. Datar atau marah. Maka tidak heran jika melihat sedikit senyuman dari komandan adalah salah satu harapan terbesar kami. 

Meskipun demikian, perasaan aneh akan muncul dalam benak kami jika sehari saja belum melihat raut wajah komandan yang datar atau mungkin sedang marah, pokoknya sudah seperti orang kasmaran saja. Atas dasar itu pula, rasa grogi ketika akan memenuhi panggilan semakin menggebu-gebu sehingga  mengabaikan panggilan komandan bukanlah hal yang pantas untuk dilakukan.

“Tolong panggilkan cocard 003 untuk segera mendatangi markas,” sahut ibu yang tiba-tiba menghampiriku ke kamar dan langsung meninggalkanku begitu saja. Ibu melihatku sedang asyik bernostalgia dengan beberapa lembaran foto dan tentu ibu tahu apa yang sudah membuatku betah berlama-lama memandangi lembaran foto itu. 

Tak lama setelah ibu memecah lamunanku, aku bergegas menemuinya. Ternyata ibu memberikan tugas untuk segera membuat sambal terasi sebagai pelengkap menu berbuka nanti. Sambil bergegas memenuhi panggilan ibu, mataku masih tertuju pada lembaran foto yang diambil saat momen pengabadian 5 bulan lalu. Bibirku tersenyum tipis. Aku paham, panggilan seorang ibu sama pentingnya dengan panggilan komandan, bahkan lebih penting dari itu.

 

Oh iya, beberapa minggu setelah tidak berada dalam satu tempat yang sama dengan komandan, aku baru tahu satu fakta. Ternyata mereka tidak seseram apa yang kami pikirkan, hihi.

0 Comments

Salam,
All You Can Read